Kamis, 16 Juni 2011

artikel "buta aksara"

KEGIATAN KEAKSARAAN FUNGSIONAL UNTUK PEMBERANTASAN BUTA HURUF DI MASYARAKAT, SITI MASITOH, DKK

ABSTRAK

Kegiatan keaksaraan fungsional ini bertujuan untuk memberantas buta huruf yang masih ada di masyarakat.

Kegiatan ini memberikan kontribusi serta manfaat peran yang sangat penting dalam memberantas buta huruf yang masih ada di masyarakat kecil. Keaksaraan fungsional biasa dilaksanakan di PKBM ( Pusat Kegiatan Belajar Masyaraktpusat kegiatan belajar masyarakat
pusat kegiatan belajar masyarakat
 ) yang di daerah tersebut masih banyak penduduk yang buta aksara. Kegiatan keaksaran fungsional memberikan layanan pendidikan gratis kepada masyarakat yang kurang mampu. Kegiatan ini dilakukan bertahap (1) Identifikasi, (2) pelaksanaan program, dan (3) evaluasi. Dengan kegiatan keaksaraan fungsional yang dilaksanakan di desa-desa yang masih banyak penduduk yang buta aksara, diharapkan masyarakat buta aksara dapat diberantas dan masyarakat kecil dapat mendapatkan pendidikan diluar pedidikan formal serta mampu meningkatkan kemampuan untuk kehidupannya yang lebih maju dan berguna.

Kesimpulan : kegiatan KF ini belum sepenuhnya mencapai hasil yang merata dan maksimal melihat banyak hambatan yang harus dihadapi ( SM ).










Pendahuluan

Latar Belakang
           
Pendidikan adalah aktivitas sengaja dan terencana dari orang dewasa bertujuan memandirikan fisik dan mental (dewasa ruhaniah), agar manusia tersebut bisa memanusiakan manusia lainnya. Pendidikan pada hakikatnya berfungsi  memanusiakan manusia. Maksud dari memanusiakan manusia adalah kegiatan antar manusia, yaitu oleh dan untuk manusia, hanya manusia yang secara sadar melaksanakannya untuk manusia lainnya. Tetapi dewasa ini pendidikan sangat tidak merata khususnya untuk masyarakat kecil, terbukti dengan masih banyaknya terdapat masyarakat yang buta aksara ( buta huruf ). Oleh karena itu Pendidikan Non Formal atau Pendidikan Luar Sekolah dalam memeratakan pendidikan serta memberantas buta huruf dimasyarakat memiliki program yang disebut dengan Keaksaraan Fungsional.


Tujuan

            Tujuan penulisan artikel ini adalah menjelaskan fungsi dan manfaat Keaksaraan Fungsional dalam pendidikan di masyarakat. Termasuk peran KF dalam pemberantasan buta aksara di masyarakat.









Pembahasan

Salah satu pakar pendidikan H.S Bhola mendefinisikan bahwa keaksaraan sebagai instrumental yang sangat terkait dalam peradaban manusia berupa kemampuan baca tulis sebagai induk bahasa yang digunakan oleh setiap bangsa di Indonesia. Pada awalnya keaksaraan bisa melalui teks lokal dengan model keaksaraan otonom (wilayah tertentu). Model ini biasanya hanya terkait dengan golongan tertentu saja dan pemikirannya sangat sempit. Selanjutnya berkembang menjadi keaksaraan ideologis artinya pendidikan keaksaraan perlu difikirkan matang-matang bahwa program pemberantasan buta aksara harus relevan dan sesuai dengan pandangan hidup dan budaya masyarakatnya. Menurut penganut ideologi ini bahwa keaksaraan tersebut perlu dikembangkan oleh para mentor/fasilitator yang mempunyai fungsi membimbing, memfasilitasi, membantu, sebagai penghubung, sebagai pencipta peluang belajar, sebagai motivator, pemberi inspirasi, penyiram, dan pengembang ide gagasan.
[1]Program keaksaraan merupakan salah satu program yang dikembangkan oleh PKBM. Program ini bertujuan membelajarkan masyarakat (warga belajar) agar dapat memanfaatkan kemampuan dasar baca, tulis, hitung dan kemampuan fungsionalnya dalam kehidupan sehari-hari. Program keaksaraan diselenggarakan secara massal dengan melibatkan berbagai masyarakat dan pemerintah yang memiliki tanggung jawab dalam pembebasan buta aksara. Kesadaran ini didasarkan pada tanggung jawab dalam pembebasan buta aksara dan atas pandangan bahwa terdapat hubungan antara kebuta aksaraan dengan kemiskinan.
[2]Sasaran dari kegiatan keaksaraan fungsional adalah melayani warga masyarakat yang menyandang buta aksara berusia diantara 10-44 tahun, dengan prioritas usia 17-30 tahun. Adapun karakteristik warga belajar dari program keaksaraan fungsional yang teridentifikasi diantaranya adalah : kemampuan nalar rendah, minat terhadap pembelajaran sangat rendah, pengalaman dan kebiasaan yang sudah melekat dengan cara-cara lama, mengikuti pembelajaran dengan suka rela tidak dengan dipaksa, tidak memungkinkan mengikuti pendidikan yang teratur dengan jadwal ketat.
Pelaksanaan kegiatan keaksaraan fungsional ini memiliki beberapa tahap yaitu identifikasi masalah, pelaksanaan program dan evaluasi. Identifikasi merupakan langkah awal yang harus dilakukan sebelum melaksanakan kegiatan KF dalam masyarakat. Identifikasi meliputi penentuan lokasi, sasaran, teknik, persiapan teknik dan penentuan prioritas. Jika tahap-tahap ini tidak dilaksanakan secara berurutan, dikhawatirkan kegiatan ini tidak dapat mencapai tujuan yang sudah direncanakan.
Upaya pemberantasan buta aksara di dukung oleh Inpres Nomor 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar 9 Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara (GNP-PWB/PBA), Keputusan bersama Mendiknas, Mendagri dan Meneg Pemberdayaan Perempuan tentang percepatan PBA, khususnya kaum perempuan serta adanya penandatanganan MoU antara Mendiknas dengan 26 Gubernur dan Bupati/Walikota mengenai PBA di daerah masing-masing.
Berdasarkan data nasional, sebanyak 81 persen lebih penduduk buta aksara terkonsentrasi di 9 provinsi, yakni Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Papua. Sisanya dibagi rata tersebar di 22 provinsi lainnya di Indonesia. Buta aksara di Indonesia tak bisa dibilang kecil. Hingga akhir 2009, populasi buta aksara masih sekitar 8,7 juta atau 5,3% penduduk berusia di atas 15 tahun. Dari Jumlah tersebut sebagia besar berusia di atas 45 tahun, 64% diantaranya perempuan. Kenyataan ini menempatkan Indonesia satu dari sembilan negara terbesar di dunia penyandang buta aksara. Selain Indonesia, delapan negara lainnya adalah India, Pakistan, Cina, Meksiko, Bangladesh, Mesir, Brasil, Nigeria. Kemajuan sebuah daerah tidak berbanding lurus dengan pemerataan kesempatan masyarakat dalam mengenal huruf. [3]Saat ini di Indonesia terdapat 5,2 juta orang usia 10-44 tahun yang masih buta huruf, jika ditambah dengan anak yang putus sekolah (DO), maka jumlah tersebut mencapai 6 juta orang (Depdiknas, 2006).
Beberapa faktor yang mendorong angka buta huruf di Indonesia antara lain masyarakat tidak mengenal bangku sekolah karena alasan ekonomi dan kondisi geografis. Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Kemdiknas juga menyebut sejumlah permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam upaya meningkatkan keberaksaraan masyarakat, khususnya penduduk buta aksara. Antara lain adalah kelompok masyarakat yang tersulit, baik dari sisi ekonomi (sangat miskin), geografis (terpencil, terpencar, dan terisolasi) maupun secara sosial budaya. Masalah lain, sebagian besar penduduk buta aksara di atas 45 tahun dengan segala keterbatasan, baik fisik maupun kognisinya.
Mengatasi masalah buta aksara ini tidak bisa dipaksakan dengan mengajarkan baca, tulis, dan berhitung semata, tetapi pengajarannya harus bersifat fungsional yang ilmunya langsung dapat dimanfaatkan dalam menyiapkan mereka menghadapi pekerjaan. Jika sistem belajarnya tidak kontekstual atau tidak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, ilmu akan hilang lagi, di sinilah perlunya kerjasama dengan dunia industri, dunia usaha, ataupun departemen terkait agar ikut serta memahami mengentaskan masalah buta aksara ini, misalnya dengan mendirikan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakal (PKBM) yang merupakan [4]salah satu mitra kerja pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat (bangsa) melalui program-program pendidikan nonformal, diharapkan mampu menumbuhkan masyarakat belajar (learning society).



















Penutup

Kesimpulan
           
Pemerataan pendidikan di masyarakat kurang merata, hal ini dapat dilihat dari banyaknya masyarakat yang masih buta huruf. Banyaknya masyarakat yang kurang mampu adalah salah satu dari tertinggalnya pemerataan pendidikan tersebut. Oleh karena itu, program keaksaraan fungsional ini harus terus dilakukan dan dikembangkan dalam masyarakat guna meningkatkan upaya pemberantasan buta aksara. Program keaksaraan merupakan salah satu program yang dikembangkan oleh PKBM. Program ini bertujuan membelajarkan masyarakat (warga belajar) agar dapat memanfaatkan kemampuan dasar baca, tulis, hitung dan kemampuan fungsionalnya dalam kehidupan sehari-hari. Sasaran dari kegiatan keaksaraan fungsional adalah melayani warga masyarakat yang menyandang buta aksara berusia diantara 10-44 tahun, dengan prioritas usia 17-30 tahun. Pelaksanaan kegiatan keaksaraan fungsional ini memiliki beberapa tahap yaitu identifikasi masalah, pelaksanaan program dan evaluasi.
Beberapa faktor yang mendorong angka buta huruf di Indonesia antara lain masyarakat tidak mengenal bangku sekolah karena alasan ekonomi dan kondisi geografis. Mengatasi masalah buta aksara ini tidak bisa dipaksakan dengan mengajarkan baca, tulis, dan berhitung semata, tetapi pengajarannya harus bersifat fungsional yang ilmunya langsung dapat dimanfaatkan dalam menyiapkan mereka menghadapi pekerjaan.
                       
                       
                       



[1] Dr. H. Mustofa Kamil, Pendidikan Nonformal, (Bandung: Alfabeta, 2009), 93.
[2] Ibid, 94.
[3] Ibid.
[4] Ibid, 80.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar